Perjalanan Mengenali Diri Sendiri dari Dongeng Saramago.

TOKICHI
5 min readDec 13, 2021

--

Dongeng Pulau Tak Dikenal — José Saramago

//

Judul: Dongeng Pulau Tak Dikenal

Judul Asli (Portugis): O Conto da Ilha Desconhecida

Judul (Spanyol): El cuento de la isla desconocida

Penulis: José Saramago

Penerjemah: Ronny Agustinus

Jumlah Halaman: 51 halaman; 11 x 17 cm

Cetakan Pertama: April 2019

ISBN: 978–623–9008–74–1

Jose Saramago (sumber gambar: Goodreads)

Buku ini merupakan seri novela yang terbitkan oleh Penerbit Circa, bersama dengan empat novela lainnya. Istilah novela merujuk pada dongeng atau cerita yang memiliki panjang yang lebih dari cerita pendek dan lebih pendek dari novel. Novela ini memiliki gaya penulisan yang berbeda dari kebanyakan buku yang saya baca, sangat minim akan penggunaan paragraf baru dan percakapan dialog yang tidak diberi tanda petik. Di awal membaca saya tidak terlalu memperhatikan sampai pada halaman 18, saya baru terpikirkan, seperti penggalan kalimat berikut:

…, Dan pulau tak dikenal apa ini yang ingin kamu cari, Andai saya bisa mengatakan kepada Anda, berarti pulau itu sudah dikenal, ….

Umumnya, penggunaan huruf kapital di awal kata dipakai pada saat awal kalimat di paragraf baru atau setelah titik. Namun, dapat dilihat dari penggalan kutipan di atas, penggunaan huruf kapital di awal kata ditulis setelah koma, dan setelah saya cermati lebih mendalam dan kembali mencari fenomena serupa di paragraf-paragraf awal buku, nampaknya penggunaan kapital di awal kata ini sebagai penanda pergantian dialog dalam cerita ini.

Ronny Agustinus, seorang pengamat sastra Amerika Latin yang juga penerjemah buku ini mengatakan bahwa,

Membaca Saramago tak pernah mudah, tetapi selalu memuaskan. Ia tak menggunakan tanda baca sesuai konvensi lazim. Ia jarang menggunakan titik. Kalimat deskriptif maupun dialog dirangkainya hanya dengan koma. Anak kalimat sambung-menyambung dan terus sambung-menyambung, kadang satu alinea bisa sampai satu halaman lebih panjangnya. Tanda petik untuk dialog? Nihil. Huruf kapital sering ia pakai sesudah koma, hanya sebagai penanda pergantian pengucap atau narator. Suara naratif inilah yang memberi kekhasan pada karya-karyanya, setidaknya sejak Levantado do Chão (1980). (Agustinus, 2010)

Gaya berceritanya yang khas didapatkan dari pengalamanya sewaktu kecil ketika kakeknya sering mendongengkan untuknya, dari situ ia menulis Levantado do Chão (1980), pengalaman itu kemudian ia coba pindahkan dari gaya bahasa lisan ke atas kertas, dengan mengesampingkan aturan tanda baca yang lazimnya digunakan sehingga gaya ini menjadi khas dari Saramago.

Satir di dalam Novela Dongeng Pulau Tak Dikenal

Terdapat beberapa satir di dalam novela ini, namun ada dua yang menarik lewat padangan saya. Yang pertama ada satir kepada sistem pemerintahan, seperti yang ungkapkan pada halaman 12.

… Lantas menteri pertama akan menyuruh menteri kedua, yang akan menyuruh menteri ketiga, yang akan memberi perintah kepada asisten pertama, yang pada gilirannya akan memberikan perintah kepada asisten kedua, dan begitu seterusnya sepanjang urutannya sampai ke si babu wanita, yang karena tidak ada siapa-siapa lagi yang bisa diperintahnya, akan membuka pintu itu setengah dan bertanya lewat celahnya, Kau mau apa. …, lantas ia akan menunggu di sebelah pintu sembari permohonannya menyusuri jalurnya kembali, dari orang ke orang sampai kepada baginda raja. ….

Apa yang diungkapkan ini menurut saya adalah satir terhadap birokrasi pemerintah yang terlalu berbelit-belit, ketika ingin mengatasi keluhan rakyatnya, sedangkan di sisi lain pintu hadiah yang digambarkan di dalam novela ini hanya langsung kepada sang raja tanpa melalui beberapa pintu. Yang kemudian di jawab oleh percakapan antara raja dan si pemohon kapal pada halaman 19,

… Ya, saya datang kemari untuk meminta kapal dari Anda, Dan kau itu siapa sampai aku harus memberimu kapal, Dan Anda itu siapa sampai Anda harus menolak saya, Aku raja di kerajaan ini, dan semua kapal di kerajaan ini jadi milikku, Lebih tepat Anda yang jadi milik mereka ketimbang mereka milik Anda, Apa maksudmu, tanya raja bingung, Maksud saya, tanpa mereka Anda bukan siapa-siapa, sementara tanpa Anda, mereka masih bisa berlayar, ….

Pernyataan ini adalah suara penulis, suara Saramago atas ideologi yang dianutnya, komunisme. Sebuah masyarakat tanpa kelas, feodalisme yang dianut kerajaan dalam paham komunisme dianggap sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan oleh orang-orang tertentu.

Pada paragraf 32–33 dijelaskan tentang satir terhadap ketimpangan kerja antara perempuan dan laki-laki serta relasi kuasa di antara keduanya,

… Yang sungguh-sungguh menggusarkannya adalah sama sekali tiadanya jatah makanan dalam lemari makan, bukan demi dirinya sendiri, karena ia lebih dari biasa kekurangan makan di istana, tetapi demi lelaki kepada siapa kapal ini diberikan, matahari tak lama lagi akan terbenam, dan ia akan kembali sambil ribut menuntut makan, sebagaimana halnya semua pria sewaktu tiba di rumah, seolah-olah merekalah satu-satunya orang yang punya perut dan perlu mengisinya. Dan bila ia membawa serta para pelaut untuk mengawaki kapal ini, selera makan mereka senantiasa mengerikan, lalu kata si babu wanita, aku tidak tahu bagaimana kita menanginanya.

Menurut Evelyn Reed dalam pengantar buku Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara (2004) karya Frederick Engels mengatakan,

Kemunculan kepemilikan pribadi, yang dibangun atas fondasi pertanian, pengumpulan-bahan persediaan, pengolahan metal, dan pembagian kerja masyarakat, telah menghasilkan kekuatan sosial yang baru.

Kepemilikan pribadi ini membuat perempuan kehilangan perannya dimasyarakat dan tergeser menjadi hanya sekedar mengurus rumah tangga dan laki-laki yang bekerja. Laki-laki menjadi dominan di dalam rumah tangga dikarenakan menjadi tulang punggung keluarga, sehingga melahirkan sistem patriarki. Dalam kutipan novela di atas di jelaskan, bahwa persoalan makan menjadi tanggung jawab sepenuhnya perempuan, dan laki-laki ketika datang bekerja akan menuntut diberi makan seolah hanya perutnya yang harus diberi makan. Persoalan-persoalan seperti ini masih begitu melekat dalam masyarakat hingga saat ini, termasuk dalam lingkungan keluarga saya.

Gambaran dalam Novela Dongeng Pulau Tak Dikenal

Sejarah Portugis-Spanyol yang menjelajah dunia guna mencari kepulauan rempah-rempah adalah bagian pembuka sejarah kolonialisme. Percakapan antara raja dan si peminta kapal, menjadi bayangan saya tentang bagaimana percakapan raja dan Columbus tentang keinginannya mencari kepulauan rempah-rempah. Dalam konteks dahulu, menuju daerah yang tak dikenal.

Sampai pada bagian akhir novela konsep Pulau Tak Dikenal masih terlalu sulit untuk diinterpretasi. Hingga pada penutup novela yang begitu memukau,

Lantas, begitu matahari mulai menyingsing, dengan huruf-huruf putih lelaki dan wanita itu mengecat di kedua sisi haluan nama yang belum dimiliki kapal tersebut. Hampir tengah hari bersama arus, Pulau Tak Dikenal akhirnya melarung ke samudera, mencari dirinya sendiri.

Sebuah penutup yang begitu memukau. Di penutup ini, saya menginterpretasikan bahwa berlayarnya kapal tersebut dengan cat yang bertuliskan “Pulau Tak Dikenal” di kedua sisi haluannya, adalah permulaan untuk mencari jati diri. Perjalanan untuk mengenali diri sendiri, itulah makna yang dapat saya interpretasikan tentang Dongeng Pulau Tak Dikenal ini.

--

--

TOKICHI

carpe diem, quam minimum credula pastero. — Horatius